P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S
Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200
Fax. 5347743
=============================================
KOMPAS Minggu, 05-08-2001. Halaman: 32
MENEMUKAN KONTEKSTUALITAS AGAMA
Judul : Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama, Membongkar
Doktrin yang Membatu,
Penulis : Ahmad Najib Burhani,
Penerbit : Kompas, 2001,
Tebal : (xviii + 224) halaman.
KLAIM kebenaran penafsiran agama kita saksikan sehari-hari. Pesan
dari Tuhan yang ditujukan kepada seluruh umat manusia, realitasnya
hanya menjadi milik sekelompok orang. Ada saja yang semaunya
menafsirkan agama dan memaksa orang lain mengikuti penafsirannya.
Penafsiran ulama, pendeta, atau rahib, di masa lalu dianggap
final dan wajib dipakai saat sekarang. Padahal latar sosial,
historis, dan antropologis pada zaman itu tidak sesuai atau bahkan
sudah sangat berbeda dengan saat ini.
Apa yang menyebabkan klaim kebenaran agama itu? Bagaimana
seharusnya agama ditempatkan? Langkah macam apa yang harus dilakukan
untuk menjembatani kesenjangan dan peran ganda agama tersebut?
Buku Islam Dinamis; Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin
yang Membatu karya Ahmad Najib Burhani ini berusaha menjawab
persoalan di atas. Di situ juga diungkap fenomena dan realita
keberagaman umat manusia.
***
MENURUT penulisnya, buku ini bertujuan untuk menggugat peran
agama yang tidak semestinya dilakukan, dengan cara membongkar doktrin
ataupun penafsiran agama yang membatu. Klaim kebenaran tafsir agama
adalah doktrin yang justru memurukkan keadaan manusia, karena manusia
hanya dijadikan obyek yang harus menerima penafsiran begitu saja.
Sesungguhnya kebenaran tidak hanya satu; kebenaran itu
berjenjang-jenjang. Kebenaran tertinggi adalah kebenaran yang
menaungi segala kebenaran. Kebenaran tertinggi adalah kebenaran Tuhan
(Rabbul 'Alamin). Dan hanya Tuhan-lah yang boleh disebut kebenaran
sejati dan maha benar (al-Haq) (hal. xiii).
Jadi kebenaran agama yang diciptakan manusia hanyalah rekayasa
dari kebenaran itu sendiri. Ia hanyalah penerjemahan manusia atas
teks-teks Tuhan, maka tentu itu bukan kebenaran sejati.
Realitas yang sering terjadi ketika agama diperbincangkan dan
dipraktekkan dalam kelompoknya sendiri adalah terciptanya klaim
kebenaran, menyebabkan ia tidak bersentuhan dengan peran lainnya.
Klaim kebenaran itu memunculkan monopoli terhadap tafsir agama, bahwa
hanya agamanyalah yang paling benar, paling bagus, dan paling suci.
Risiko lainnya, agama juga bisa menyebabkan fanatisme golongan,
ia akan alergi terhadap pemeluk agama lain. Bukankah pola yang
dipakai Orde Baru selama 32 tahun adalah adu domba pemeluk antaragama
berdalihkan SARA?
Akibat lainnya adalah eklusivitas keberagamaan. Artinya pemeluk
agama akan mendewa-dewakan agamanya sendiri, pemuka agamanya, ataupun
mantra dan kitab sucinya.
Ketika melihat kenyataan tentang tafsir dan pola keberagamaan
seperti itu, penulis buku ini menawarkan solusi alternatif guna
mendinamiskan agama. Menurut dia, penafsiran dan peran agama yang
sesungguhnya terletak pada tanggung jawab sosial dan fungsi
emansipatorisnya (hal. 7).
Penulis mengatakan, agama tidak hanya disibukkan dengan mengurusi
persoalan ketuhanan, janji keselamatan, ataupun monopoli kebenaran.
Agama harus peduli pada lingkungan hidup, tertib sosial, dan masa
depan kemanusiaan. Agama akan maju dan diminati oleh manusia ketika
mampu memecahkan persoalan realitas kehidupan tanpa banyak basa-basi.
Bila ini dicapai, maka peran universal agama akan dirasakan oleh
umat manusia; dan tidak mungkin menjadikan perpecahan antarmanusia,
karena ia tampil di garda paling depan dalam membebaskan manusia dari
segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan segala bentuk penghalang
kemajuan.
Landasan teologis yang digunakan oleh penulis dalam memaparkan
argumentasi tentang peran agama adalah risalah kenabian Muhammad
sendiri. Bahwa Muhammad diutus oleh Tuhan dengan membawa dua misi,
yaitu misi ke-Ilahian dan kemanusiaan.
Manusia dituntut untuk mengabdi kepada yang paling benar dan juga
memperbaiki kualitas kehidupannya. Ayat-ayat Al-Qur'an yang turun di
Makkah saat awal kenabian mendengungkan perihal revolusi teologis,
karena umat manusia saat itu menyembah benda apa pun dan
mendewakannya tanpa ada tujuan dan landasan yang pasti (hal.92-93).
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah yang turun pasca Nabi melakukan
hijrah, lebih menekankan hal-hal kemanusiaan dan sosiologis. Bahkan
menurut Farid Essack (pemikir Islam dari Afrika Selatan-2001), salah
satu alasan kenapa al-Qur'an tidak turun serentak adalah karena
dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi pada
zamannya. Al-Qur'an turun untuk membangun peradaban dan mengajarkan
tata cara kehidupan yang elegan dan demokratis.
Keberagamaan yang sejati adalah keberagamaan yang senantiasa
berkontekstualisasi. Artinya, keberagamaan yang tidak terjebak pada
teks-teks yang hanya dijadikan simbol dan perilaku ritual kehidupan.
Untuk itu, dituntut penafsiran dan pemberlakuan doktrin yang
menyesuaikan diri dengan tantangan zaman dan perubahan peradaban,
tentu saja yang tidak terjebak pada monopoli. Orang yang beragama
sejati harus mampu membawa dan memanifestasikan simbol-simbol dan
sifat Tuhan, dalam perilaku kehidupan sehari-hari (hal. 120-121).
Wujud komitmen sosial dan emansipatoris agama akan nampak pada
masalah tersebut. Bila hal demikian itu bisa kita capai, maka kita
tidak akan terbuai oleh mitos-mitos tentang agama seperti disebutkan
di atas. Dan kita pun akan mencapai keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan akhirati, ini sesuai dengan risalah kenabian Muhammad.
***
SECARA garis besar buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian
pertama diulas tentang keberagamaan dan sikap simpatik terhadap
pluralitas keimanan . Bagian keduanya adalah perihal pemaknaan ritus
dan ajaran agama. Ternyata dalam ritualitas dan ajarannya, agama
mengandung makna dan nilai moral yang sangat besar dan bermanfaat
bagi manusia.
Bagian ketiga mengungkap betapa pentingnya membawa teks agama
pada konteks zaman. Metode-metode filsafat kontemporer sangat
berkaitan erat dengan perkembangan penafsiran agama, karena teks
harus mengikuti perkembangan sistem pengetahuan, agar ia terus maju.
Keempat tentang peran dan fungsi ulama. Ulama harus berfungsi
sebagai pembebas manusia dari ketertindasan dan memelopori
pemberlakuan politik religius yang bermakna kemanusiaan.
Bagian terakhir perihal penegakan misi suci kehadiran agama.
Agama harus menjadi perekat persaudaraan umat manusia, dan juga
sebagai spirit bagi terciptanya kesejahteraan bangsa.
Sebagai kumpulan tulisan yang semula berserakan di media massa,
maka pengelompokan tulisan itu tampak agak "dipaksakan". Terasa juga
banyaknya ide-ide yang diambil dari analisis orang lain, maka nuansa
baru dan pemikiran baru kurang ditemukan di buku ini.
Namun, buku ini cukup bagus sebagai penggerak kemajuan dan
pembangkit kesadaran beragama serta pemahamannya yang teduh.
(Ahmad Fuad Fanani, mahasiswa Ushuluddin IAIN Jakarta, Ketua Umum
Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat.) |