From: Najib [najib27@yahoo.com]
Sent: Thursday,
January 03, 2002 4:39 PM
To: Ahmad Najib Burhani
Subject:
[Republika Online] Orang Kota Mencari Tuhan
23 Desember 2001
Orang
Kota Mencari Tuhan
Judul
buku: Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif
Penulis:
Ahmad Najib Burhani
Pengantar: Haidar Bagir
Penerbit: Serambi
Cetakan:
I, September 2001
Tebal: xxxviii+191 halaman
Tiba-tiba para selebritis
Hollywood, seperti Richard Gere, Madonna, Demi Moore, Elizabeth Taylor, Laura
Dern, Michael Jackson, dan Gillian Anderson (bintang X-Files)
menggandrungi mistik. Mereka ramai-ramai belajar spiritualitas. Apa yang
menyebabkan para pria dan wanita kaya dan terkenal itu mau untuk sejenak
"meninggalkan" kemewahan dan kesenangan yang sudah menjadi gaya hidup mereka
sehari-hari? Mengapa pula mereka mau mengejar spiritualitas, padahal Hollywood
umumnya membenci agama? Betulkah mereka mencari Tuhan, atau sekadar ketenangan
batin belaka?
Stasiun televisi CNN (edisi 10 Mei 2000) menyebut akhir
millenium kedua sebagai tahun para pelancong spiritual. Walikota Assisi (Italia)
Georgio Bartolini memperkirakan jutaan pengunjung akan menghadiri Assisi dan
Gereja Basilica. "Kita memperkirakan sebanyak 13 juta pengunjung antara Desember
1999 hingga Januari 2001, atau 13.000 sampai 15.000 pengunjung setiap hari,"
kata Bartolini.
Di Indonesia, gejala mistisisme pun tak kalah maraknya.
Para penyelenggara kegiatan spiritual atau tasawuf -- seperti Anad Krishna,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, dan Haidar Bagir -- selalu kebanjiran
peminat. Padahal biayanya relatif mahal. Dan para peserta itu umumnya adalah
orang-orang berdasi, orang-orang kaya dan para pengusaha. Mereka adalah
orang-orang kota yang sudah hidup mapan. Jadi, apa yang sebetulnya mereka cari?
Dan, betulkah yang mereka lakukan itu betul-betul didorong oleh keinginan
mendekatkan diri kepada Tuhan (meningkatkan ketakwaan), atau hanya sekadar
pelarian, atau bahkan didorong oleh motif ekonomi
(kapitalistik)?
Pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena kebangkitan
spiritualisme manusia zaman modern itu dapat dicari jawabannya di dalam buku
ini. Penulisnya -- perpaduan seorang sarjana terbaik IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, aktivis kajian tasawuf, dan sehari-hari bekerja di bidang cyber --
berhasil menggambarkan fenomena kebangkitan mistisisme dengan
jernih.
Dengan jeli, penulis mengatakan bahwa untuk sementara ini
sebagian kebangkitan spiritualitas itu bersifat permukaan atau semu. Para
pesertanya bukan mengejar bertemu dengan Tuhan dan mendekatkan diri dengan
agamanya, melainkan hanya sekadar ingin merasakan arti kedekatan kepada Tuhan.
Setelah itu, selesai! Jadi, tidak membekas dalam kehidupan keseharian. "Wujud
spiritualitas itu kini masih berupa baju atau kulit... Spiritualitas masih
menjadi sekadar suplemen kehidupan, hiburan di sela-sela kesibukan kerja.
Kebutuhan terhadap spiritualitas sana dengan kebutuhan terhadap
fitness."
Buku ini diberi kata pengantar oleh Haidar Bagir, seorang
intelektual muslim yang banyak mengkaji dan menulis tentang tasawuf. Dan,
seperti juga halnya Buya HAMKA, Haidar merupakan seorang pengkaji tasawuf yang
kritis. Buya HAMKA mengusung tasawuf modern, sedangkan Haidar tasawuf positif.
Keduanya mendorong umat untuk menjadikan tasawuf sebagai pendorong untuk maju
dan memberi arti dalam hidup ini. Tasawuf, kata HAMKA mengutip Junaid Al
Baghdadi adalah "berpindah dari akhlak yang buruk kepada akhlak yang
baik".
Sedangkan tasawuf positif dalam pandangan Haidar adalah bersikap
memberikan makna penting pada kehidupan dunia, memegang teguh ajaran syariat
agama, memuliakan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menolak klenik dan
takhyul. Dan, puncak tawasuf positif adalah buahnya, yakni berakhlak mulia, dan
punya kepedulian sosial amat tinggi terhadap kaum yang miskin
papa.
Akhirnya, walaupun mengkritik sebagian masyarakat yang hanya
mengejar aspek mistik tapi melupakan Tuhannya, penulis masih menyimpan harapan.
Suatu hari nanti, kesadaran spiritual itu betul-betul murni dari hati nurani,
sehingga orang -- khususnya mereka yang belajar spiritualisme atau tasawuf --
belajar spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, di sisi lain,
mereka tetap berlomba-lomba menciptakan dan meraih prestasi-prestasi (duniawi)
terbaik dalam hidupnya. "Kita berharap fenomena spiritualitas mengarah pada
hal-hal yang bersifat positif, sehingga manusia benar-benar menjadi insan kamil,
pribadi yang holistik." (hal 9) Itulah inti tasawuf positif! irwan
kelana
Berita ini dikirim
melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/cetak_detail.asp?id=57293&kat_id=40